Begini Seharusnya Orang Tua Menghargai Anak Menurut Ajaran Islam
Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan di alam semesta ini mempunyai hak-hak yang harus dihormati dan dimuliakan oleh makhluk lainnya. Begitu juga seorang anak manusia yang mempunyai hak-hak istimewa sebagai makhluk Tuhan.
Mahabesar Tuhan yang memberikan hak-hak istimewa kepada
manusia sebelum dia mengetahui kewajibannya sebagai hamba, manusia diberikan
haknya terlebih dahulu berupa hak hidup, hak dilindungi, hak mendapatkan kasih
sayang, hak untuk dididik secara benar, dan sebagainya. Hak-hak lainnya yang harus
diberikan dan merupakan hak dasar bagi anak, antara lain hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, hak untuk beribadah menurut
keyakinannya, serta hak untuk mendapatkan status kewarganegaraan.
Hak Anak Menurut Islam
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara, karena merupakan hak dasar yang diberikan Tuhan
terhadap setiap anak.
Hak-hak anak wajib dipenuhi oleh semua pihak dengan tujuan
melaksanakan amanat Tuhan untuk kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan, serta
pengakuan atas kebesaran dan kemurahan Allah Swt. kepada seorang manusia.
Rasulullah Saw. bersabda, “Dan sesungguhnya anakmu punya hak atas kamu.” (HR
Muslim) Perlindungan terhadap anak telah menjadi kesepakatan dunia melalui
Konvensi Internasional yang menjadi referensi bagi seluruh negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Konvensi Hak Anak disebutkan pengertian
bahwa, “... setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan
undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal.” Barangkali timbul pertanyaan sejak kapan disebut sebagai anak? Apakah
sejak bayi atau sejak dalam kandungan?
Cara Menghargai Anak
Dalam Konvensi Hak Anak tidak dijelaskan secara tegas, tetapi secara
implisit mengakui bahwa perlindungan terhadap anak dilakukan sejak dalam
kandungan. Sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Dek larasi Hak Anak 1959
bahwa, “Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan
pengamanan dan pemeliharaan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak
sebelum dan sesudah kelahiran.” Begitu pun secara tegas pengertian anak
disebutkan dalam peraturan perundang-undangan nasional (Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) pengertian anak me nyebutkan bahwa yang
dimaksud anak adalah seseorang yang be lum berusia 18 tahun, termasuk yang
masih berada dalam kandungan.
Dalam bahasa
Arab, anak disebut sebagai al-thifl yang berarti lunak atau lembut. Itulah
sebabnya, anak dianggap sebagai sesuatu yang sangat rentan (fragile), yakni
gampang pecah dan patah kalau berbenturan dengan suatu benda keras. Hal yang
sama juga di katakan oleh Imam Al-Isfahani dalam kitabnya Mufradât Al-Qur’ân,
dia menulis bahwa anak disebut sebagai al-thifl karena ia empuk dan lunak.
Hal inilah yang
mengharuskan orangtua untuk lebih berhati-hati dalam memberikan perawatan dan
pemeliharaan atas anak-anaknya. Dalam pengertian khusus menurut ajaran Islam,
anak adalah generasi penerus untuk melanjutkan kelangsungan keturunan.
Sedangkan dalam pengertian lebih luas, anak adalah generasi penerus yang akan
mewarisi kepemimpinan di bidang keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan. Karena
itu, anak perlu dirawat dan dididik di dalam keluarga dengan sebaik-baiknya,
agar ia berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Sejalan dengan
definisi-definisi ini, seseorang yang belum berusia 18 tahun dikategorikan
sebagai anak. Seorang anak tidak dapat dikenakan sanksi hukum hingga dia
menjadi orang yang dewasa, dan segala yang terkait dengan hak-hak anak wajib diterima
dan layak didapatkannya.
Penghilangan dan
pelecehan terhadap hak anak dapat merenggut kebahagiaan dan kehidupannya
sebagai manusia yang utuh. Setelah usia tersebut, diasumsikan bahwa anak sudah
menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi tanggung jawab orangtua, meskipun secara
ekonomi dan psikis sering kali masih bergantung kepada orangtua karena
kedewasaannya belum matang. Dalam ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam
ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul serta pendapat para ulama, anak menempati
posisi yang sangat mulia, sejak masa pembuahan, pembentukan embrio,
perkembangan janin, hingga ia menjadi manusia dewasa sebagai khalifah di muka
bumi. Pemenuhan hak untuk hidup dan perlindungan keselamatan, kesehatan,
disayangi dan dikasihi harus didapatkan oleh setiap anak. Hak anak merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh orangtua, masyarakat, dan negara untuk
diberikan kepada setiap anak yang terlahir di dunia ini.
Oleh karena itu,
Undang-Undang Perlindungan Anak harus menjadi acuan hukum dalam menegakkan
hak-hak anak di Indonesia. Mengapa buku ini hadir ke hadapan para pembaca?
Sebagai bagian dari kegelisahan penulis dalam melihat permasalahan pelik yang
dihadapi oleh anak-anak Indonesia, seperti kacaunya masalah pendidikan,
kekerasan fisik, psikis, pelecehan, perdagangan anak, kerentanan anak-anak
terhadap bahaya narkotika, rokok, pornografi, tayangan televisi yang tidak
mendidik, dan yang lainnya.
Kondisi tersebut
sangat memprihatinkan, sehingga saya merasa tergerak untuk memberikan
kontribusi dalam mencari solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut. Selain
itu, buku ini dapat menjadi panduan bagi orangtua dalam menuntun anak-anaknya
untuk menghindari kerentanan terhadap bahaya-bahaya yang mengancam mereka.
Perkembangan pengetahuan dan informasi yang terkait dengan dunia anak dapat
diakses dengan mudah dalam bentuk buku maupun media massa, termasuk internet serta
media informasi lainnya. Penulis mencoba menghadirkan panduan alternatif bagi
orangtua dalam mengasuh, mendidik, serta memahami dunia anak menurut
pengetahuan, pengamatan, serta pengalaman penulis dalam mendampingi tumbuh
kembang anak-anak dan persoalan yang terkait dengan kehidupan mereka.
Buku ini juga
menghadirkan pandangan-pandangan ajaran agama terkait dengan peran orangtua
dalam mengasuh serta mendidik anak-anak dengan penuh keramahan dan kasih
sayang. Tugas itu haruslah diniatkan semata-mata merupakan perbuatan ibadah
yang ditujukan hanya kepada Allah Swt. Karena anak merupakan amanah besar yang
diberikan Tuhan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Mempunyai anak
bukan berarti hak orangtua untuk memilikinya dan melakukan segala hal yang
dikehendaki mereka. Sebagai titipan Tuhan, anak tidak menjadi milik orang tua
yang dapat diperlakukan sekehendak hati. Anak merupakan ujian bagi hamba yang
taat kepada Tuhan untuk mengasuh dan mendidik mereka hingga menjadi manusia
utama, mulia di hadapan Tuhan dan makhluk lainnya. Fir man Allah Swt.:
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi
Allah pahala yang besar. (QS Al-Taghâbun [64]: 15) Dalam hadis Nabi Saw.
disebutkan tentang keutamaan orangtua yang berbuat baik terhadap anak-anaknya,
“Barang siapa diuji dengan beberapa anak perempuan, lalu dia berbuat baik
kepada mereka, maka anak-anaknya tersebut akan menjadi penghalang baginya dari api
neraka.”
Dalam hadis lain
beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan baginya surga, atas apa
yang telah diperbuatnya atau dia membebaskannya dengan perbuatannya itu dari
api neraka.”
Majdi Fathi
Sayyid dalam kitabnya Banaatun Haul Rasul (Putri-Putri Rasul) mengisahkan,
sebagian ulama mengatakan bahwa maksud Rasulullah Saw. menyebutkan anak
(perempuan) sebagai ujian manusia merupakan larangan bagi kaumnya untuk
bertindak buruk kepada anak-anak mereka (khususnya perempuan), dan berbuat baik
kepada anak-anak dengan penuh kesabaran, sehingga Allah menjanjikan kebaikan
pahala bagi orangtua. Al-Hafizh Al-‘Iraqi menyebutnya dengan ujian sebagai bentuk
ketakwaan kepada Allah Swt.
Dalam konteks
pengasuhan dan perlindungan anak, orangtua dan keluarga mempunyai peran
sentral, karena anak sangat bergantung kepada orang dewasa. Bagi anak yang
memiliki orangtua, peng asuhan anak menjadi tanggung jawab orangtuanya. Akan
tetapi, bagi anak yang dalam kondisi tertentu tidak memiliki orangtua, negara
berkewajiban mencarikan keluarga alternatif melalui hukum adopsi atau lembaga
asuh pengganti keluarga agar mereka dapat berkembang sebagaimana layaknya
anak-anak yang hidup dalam keluarga yang sesungguhnya.