Pembiasaan Pola Tingkah Laku Pada Pembangunan Karakter Anak
Pembiasaan pada Pola Tingkah Laku Konstruktif Jika transfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pengajaran, pembentukan pola tingkah laku merupakan tujuan dari pendidikan. Pendidikan adalah transfer budaya, sementara kebudayaan masyarakat mana pun mengandung unsur-unsur akhlak atau etik, estetika, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sebenarnya ini sangat terkait juga dengan Kegiatan Membangun lingkungan kondusif dan tokoh idola di benak Anak.
Tingkah laku manusia tidak selamanya logis, sebaliknya
sebagian besar perilaku manusia justru terbangun melalui pembiasaan. Orang yang sudah biasa bangun pagi tetap
saja bangun pagi meski tidurnya terlambat. Enaknya masakan pedas bagi
seseorang, misalnya, adalah bukan masalah logis tidak logis, tetapi lebih pada
pembiasaan rasa. Demikian juga bersih, tertib, disiplin juga tertanam melalui
proses pembiasaan.
Orang yang telah
memahami logika kejujuran tidak otomatis menjadi orang jujur, sebaliknya boleh
jadi pengetahuan justru digunakan untuk mengelabui orang-orang lain yang
berpikir jujur. Begitu pula sopan santun adalah sesuatu yang tidak mesti logis,
tetapi ia terbentuk melalui pembiasaan. Dalam pembentukan karakter seseorang,
hal-hal yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah sopan santun atau
etika, kebersihan dan kerapian, kejujuran, serta disiplin.
Pembiasaan Tingkah Laku Sopan
Sopan santun atau
etika adalah akhlak yang bersifat lahir. Ukuran sopan santun bertumpu pada cara
pandang suatu masyarakat. Artinya, suatu tingkah laku yang dipandang sopan oleh
suatu masyarakat mungkin dipandang sebaliknya oleh masyarakat lain, disebabkan
cara pandang yang berbeda.
Sopan santun
diperlukan ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, dengan penekanan
terutama:
1.
kepada
orang yang lebih tua, yaitu orangtua, guru, atau atasan;
2.
kepada
yang lebih muda, yaitu anak, murid, atau bawahan; dan
3.
kepada
orang yang setingkat, sebaya usia maupun setingkat status sosial. Sopan santun
juga diperlukan ketika komunikasi kepada orang lain dengan kategori kawan dan
lawan.
Sopan santun
kepada lawan mempunyai kekuatan diplomasi yang lebih kuat dibandingkan dengan
perilaku kasar. Kesopanan dapat menambat hati lawan, sementara kekasaran hanya
menabur dendam. Seorang bijak, Ahnaf ibn Qais mengatakan bahwa kunci kesuksesan
seseorang dalam pergaulan itu secara bertingkat ada enam:
1.
kepekaan
akal;
2.
sopan
santun tinggi;
3.
sahabat
sejati;
4.
hati
yang mengikat;
5.
kemampuan
untuk diam; dan
6.
cepat
mati. Maksud perkataannya ini adalah bahwa sangat beruntung jika orang memiliki
akal yang peka, yaitu cerdas dalam mencari solusi dan mampu memahami situasi,
sebagai perwujudan dari kecerdasan emosional.
Jika tidak
mempunyai kepekaan akal, orang masih tertolong jika memiliki sopan santun yang
tinggi. Kalaulah kurang sopan, tidak mengapa asal memiliki banyak sahabat yang
bisa meyakinkan orang lain atas kekurangannya, atau masih memiliki kelembutan
hati meski disalahpahami. Jika empat hal ini tidak ada pada seseorang, ia masih
bisa selamat asal banyak diam.
Dan jika diam pun
tidak bisa, yang terbaik baginya adalah cepat mati. Sopan santun kepada
anak-anak tertanam melalui kebiasaan sehari-hari di rumah. Apa yang diajarkan
dan dicontohkan oleh orangtua di rumah akan membekas pada diri anak itu.
Sopan santun pada
remaja tertanam, di samping melalui kebiasaan di dalam rumah, juga terbentuk
melalui pergaulan dengan teman sebaya, tontonan, pergaulan yang dilihat dan
diterapkan di sekolahnya. Sementara sopan santun pada orang dewasa, selain
bermodalkan apa yang sudah dimiliki sejak anak-anak dan remaja, terbentuk
melalui perilaku tokoh masyarakat, terutama tokoh yang dihormati atau yang
diidolakan.
Fatsoen politik
kalangan elite yang tidak santun akan diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat
dengan perilaku yang lebih tidak santun.
Pembiasaan Hidup Bersih dan
Tertib
Kesadaran akan
kebersihan tidak hanya bertumpu pada pengetahuan mengenai hubungan kebersihan
dengan kesehatan, tetapi juga bertumpu pada perasaan.
Pengetahuan
tentang hubungan kebersihan dengan kesehatan diperoleh melalui ilmu
pengetahuan, tetapi kepekaan terhadap kebersihan dibangun melalui pembiasaan
sejak kecil. Konsistensi orangtua terhadap keharusan anak-anak untuk cuci
tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur, mandi dan gosok gigi secara
teratur, menyapu lantai dan halaman rumah, buang sampah di tempatnya,
meletakkan sepatu di tempatnya, merapikan pakaian dan buku-buku di kamarnya,
membereskan tempat tidur setiap bangun tidur, merupakan pekerjaan membiasakan
anak pada hidup bersih hingga kesadaran akan kebersihan itu menjadi bagian dari
kepribadiannya.
Pada usia remaja,
kesadaran akan kebersihan harus didukung oleh pengetahuan empirik, misalnya,
melihat air, benda, atau tangan kotor dengan bantuan mikroskop sehingga mereka
melihat sendiri kuman-kuman penyakit pada kotoran tersebut.
Adapun perilaku
bersih dan tertib pada masyarakat hanya mungkin diwujudkan dengan pengaturan
yang dirancang secara serius, seperti sistem pemeliharaan kebersihan umum
lengkap dengan segala sarananya, sistem sanitasi, sistem pembuangan limbah di
tempattempat umum, kemudian didukung dengan peraturan yang menjamin kelangsungan
hidup bersih dan tertib.
Misalnya,
Singapura mengenakan denda sekitar lima ratus ribu rupiah bagi orang yang hanya
membuang puntung rokok secara sembarangan.
Pembiasaan Kejujuran dan
Kedisiplinan
Kejujuran
merupakan sifat seseorang. Dalam bahasa Arab, kejujuran diungkap dengan istilah
shiddîq dan amânah. Shiddîq artinya benar dan amânah artinya dapat dipercaya.
Ciri orang jujur
adalah tidak suka bohong. Akan tetapi, jujur yang berkonotasi positif berbeda
dengan jujur dalam arti lugu dan polos yang berkonotasi negatif. Dalam sifat
amanah juga terkandung kecerdasan, yakni kejujuran yang disampaikan secara
tanggung jawab. Jujur bukan dalam arti mau mengatakan semua yang diketahui apa
adanya, tetapi mengatakan apa yang diketahui sepanjang membawa kebaikan dan
tidak menyebutnya (bukan berbohong) jika diperkirakan membawa akibat buruk
kepada dirinya atau orang lain.
Sebagai ilustrasi
dari sebuah hadis bahwa suatu hari Nabi Saw. sedang duduk di suatu tempat,
tiba-tiba seseorang berlari dan lewat di depannya. Tak lama kemudian, datang
lagi orang lain dengan menghunus senjata tajam, yang terlihat sedang mengejar
orang yang berlari tadi. Ketika sampai di dekat Nabi Saw., orang itu bertanya
adakah engkau melihat orang lari lewat sini? Jika Nabi Saw. berkata tidak,
berarti beliau berbohong. Tetapi jika berkata iya, berarti kejujuran Nabi Saw.
membawa kepada ancaman bahaya bagi seseorang yang belum diketahui apakah
bersalah atau tidak. Karena itu, Nabi Saw. menjawab dengan ungkapan, “Sejak
saya berdiri di sini tidak ada orang lewat.” Nabi tidak berbohong karena ketika
orang yang pertama lari di depannya, Nabi Saw. masih duduk. Setelah berdiri, tidak
ada lagi orang yang lewat.
Tingkah laku
disiplin adalah perbuatan yang dilakukan karena mengikuti suatu komitmen.
Disiplin bisa berhubungan dengan waktu, tempat, aturan, anggaran, dan hal
lainnya. Disiplin bisa berhubungan dengan kejujuran, bisa juga tidak. Seorang
penjahat profesional biasanya sangat disiplin dengan agenda kriminal yang
dibuatnya.
Akan tetapi,
kejujuran dan kedisiplinan bisa dibentuk melalui pembiasaan. Kejujuran juga
diwariskan oleh genetika orangtuanya. Karena itu, setiap orangtua harus
menyadari bahwa ketidakjujuran orangtua, terutama ketika anak sedang dalam
kandungan, secara psikologis dapat menitis kepada anaknya.
Di sini
gagasan atau pendidikan sebelum anak lahir menjadi sangat relevan.
Tradisi masyarakat menyangkut ritual orang hamil, seperti ketika sang istri sedang
hamil, suami tidak boleh menyembelih hewan, tidak boleh menyumbat sarang
binatang, kemudian tradisi ngupati (hamil empat bulan) dan mitoni (hamil tujuh
bulan), lalu azan dan aqiqah ketika anak baru lahir; semuanya merupakan simbol
harapan orangtua terhadap anaknya untuk tidak berperilaku sadis, tidak
mengganggu orang lain, dan suka memberi orang lain.
Ringkasnya, agar
sang anak kelak memiliki akhlak yang mulia. Selanjutnya, keharmonisan orangtua
di dalam rumah akan sangat berpengaruh dalam membentuk watak dan kepribadian
anak pada umur-umur perkembangannya. Ketika anak-anak masih kecil,
pantang orangtua berbohong kepada anaknya, karena kebohongan yang dirasakan
oleh anak akan menimbulkan kegelisahan serta merusak tatanan psikologinya.
Pada anak usia
kelas IV SD hingga SMP, kejujuran seyogianya dibiasakan sejalan dengan
kedisiplinan hidup: disiplin belajar, bekerja membantu orangtua di rumah,
keuangan, dan agenda harian kanak-kanak dan remaja. Pada usia SLA, kejujuran
dan kedisiplinan yang ditanamkan sudah harus disertai alasan yang rasional, baik
dalam kehidupan di dalam rumah, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.
Sistem punishment and reward sudah bisa diterapkan secara masuk akal. Pada usia
mahasiswa, kejujuran dan kedisiplinan dibiasakan melalui pemberian kepercayaan
dalam berbagai tanggung jawab.
Yang harus
ditekankan kepada mereka adalah komitmen dan substansi, sementara teknik dan
prosedur sudah harus diserahkan pada seni dan kreativitas mereka. Pada orang
dewasa yang sudah bekerja, kejujuran dan kedi siplinan justru diterapkan
melalui pelaksanaan sistem yang menutup peluang untuk berbuat tidak jujur
dengan sistem pengawasan yang transparan.
Betapapun orang
jujur dapat berubah menjadi tidak jujur manakala peluang untuk tidak jujur dan
tidak disiplin terbuka tanpa pengawasan.