Pendidikan Ramah Anak Yang Perlu Diterapkan Orang Tua
Pendidikan yang ramah anak merupakan hal yang wajib dilakukan oleh orang tua. Ini sama pentingnya dengan membangun karakter anak sejak dalam kandungan. Kamu akan berhasil sebagai orang tua jika mampu memberikan pendidikan yang ramah kepada anak Anda.
Anak-anak supaya dapat berkembang secara baik membutuhkan pendidikan, keterampilan, serta rekreasi dan kegiatan seni budaya. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan anak adalah pasal 28, 29, dan 31. Pasal 28 menyatakan bahwa negara akan menyediakan pendidikan dasar wajib bagi semua anak secara cuma-cuma, termasuk berbagai fasilitas pendidikan.
Pasal 29 berisi
arah pendidikan bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian anak,
bakat serta kemampuan mental dan fisik, hingga mencapai potensi yang optimal.
Pasal 31 ayat 1, negara-negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak sepakat
mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain, dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan rekreasi sesuai dengan usianya. Pada pasal 31 ayat 2
disebutkan, negara-negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak sepakat untuk
menghormati dan meningkatkan hak anak untuk turut serta sepenuhnya dalam
kehidupan budaya dan seni, serta akan mendorong pengadaan peluang yang layak
dan sama untuk kegiatan seni, budaya, santai, dan rekreasi.
Di dalam tradisi
masyarakat maupun secara normatif, orangtua memiliki kewajiban untuk mendidik
dan mengasuh anak-anaknya seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Perintah tersebut sangat beralasan karena kualitas sumber daya manusia di muka
bumi ini sangat ditentukan oleh faktor pendidikan dasar yang diberikan oleh
orangtuanya.
Pendidikan Yang Ramah Terhadap
Anak
Anak-anak yang
diasuh secara baik dan dibekali dengan pendidikan yang memadai diharapkan akan
menjadi anak yang baik (saleh dan salehah), dan setelah dewasa menjadi
orang-orang yang beruntung, berguna bagi bangsa dan agamanya.
Dengan bekal ilmu
bermanfaat yang dimilikinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang jauh
lebih baik dan bermartabat dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki ilmu.
Begitu juga dalam pandangan Islam, peran orangtua sangat penting dalam
menentukan masa depan anaknya. Pernyataan Nabi Saw., sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, menganalogikan peran orangtua terhadap agama yang dianut
anaknya sebagai berikut, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua
orangtuanya yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Dalam hal
pendidikan, Tuhan menjanjikan bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu akan
diangkat derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) di antara
kamu dan mereka yang berilmu (laki-laki dan perempuan) beberapa derajat
(QS Al-Mujâdilah [58]:
Atas dasar
kebutuhan dan jaminan tersebut, menjadi logis kalau Nabi Saw. memotivasi kepada
setiap orang, baik laki-laki mau pun perempuan, untuk menuntut ilmu. Di
antaranya diriwayatkan oleh Ibn Majah, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
orang Muslim, laki-laki dan perempuan.”
Begitu juga dari
kalangan ahli hikmah, di antaranya ada yang mengatakan, “Carilah ilmu sejak
masih dalam buaian hingga keliang kubur (meninggal),” dan, “Carilah ilmu
meski pun harus ke negeri Cina.” Pendidikan yang ramah terhadap anak adalah
pola pendidikan yang menggunakan perspektif gender, yaitu suatu model
pendidikan yang meniscayakan keadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Di
dalam Al-Quran, Allah Swt. menyebutkan beberapa poin pentingnya pendidikan agar
seseorang berakhlak mulia.
Sebagaimana dapat
diambil pelajaran dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Quran tentang
pendidikan yang diberikan oleh para nabi kepada anak-anaknya, seperti kisah
Nabi Ya'qub a.s. dan Nabi Yusuf a.s., Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma̒il a.s.,
Siti Asiyah dan Nabi Musa a.s., Nabi Zakariya a.s. dan Nabi Yahya a.s., serta
Luqman yang mengajarkan dan mendidik anaknya untuk taat kepada Allah Swt.
Pendidikan yang ramah terhadap anak adalah pola pendidikan yang menggunakan
perspektif gender, yaitu suatu model pendidikan yang meniscayakan keadilan,
baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Artinya,
penanaman nilai dalam proses pendidikan anak ditekankan pada pemahaman bahwa
sifat-sifat feminin dan sifat-sifat maskulin memiliki nilai yang sama
pentingnya dalam kehidupan sosial. Pendidikan yang berkeadilan gender ini
sebaiknya dimulai sejak anak-anak masih kecil, bahkan sejak bayi. Ada beberapa
persyaratan yang harus dilakukan dalam menerapkan pola pendidikan yang ramah
terhadap anak, antara lain: 1. Tidak membedakan jenis kelamin.
Orangtua
hendaknya tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan anak laki-laki dengan
perempuan. Mulailah dari hal-hal yang kecil. Misalnya, pilihan warna, mainan,
dan yang lainnya tidak disosialisasikan kepada anak secara stereotype. Selama
ini, anak-anak sejak lahir sudah dikonstruksikan dengan pilihan-pilihan yang
stereotype.
Misalnya,
pemilihan warna untuk perempuan berbeda dengan laki-laki, begitu juga
gambar-gambar atau motif-motif pakaian dan selimut anak serta perlengkapan
lainnya dibedakan antara laki-laki dan perempuan. motif-motif binatang
untuk anak laki-laki dan motif bunga atau dedaunan untuk anak perempuan.
Begitu juga dalam
hal jenis mainan, sudah diberikan stereotype mainan laki-laki dan
perempuan, padahal anak-anak belum tentu menyukai jenis stereotype yang
diberikan orangtuanya. Akan tetapi, karena dikondisikan dan masyarakat di
sekitarnya juga turut melanggengkan, anak-anak dengan sendirinya mengikuti
konsep gender yang sudah berlaku di lingkungannya.
Setelah anak
mulai mengenal lingkungannya, berikan kebebasan kepada anak laki-laki dan
perempuan untuk tumbuh dan mengekspresikan keingintahuannya. Hentikan kebiasaan
menyosialisasikan nilai-nilai bahwa perempuan harus dengan kepribadian yang
feminin (lemah lembut, halus, penyayang, cengeng, dan sebagainya) dan
laki-laki dengan kepribadian maskulin (berani, tegas, kekar, kuat, tidak
boleh menangis, dan sebagainya).
Kedua nilai
kepribadian tersebut harus diperkenalkan kepada setiap anak sejak dini supaya
anak terlatih dengan kepribadian yang adil gender. Pendidikan dengan pendekatan
perspektif gender, selain dimulai dari keluarga, di sekolah juga guru-guru
hendaknya menerapkan kurikulum dan perlakuan terhadap anak didik secara setara.
Begitu juga di
dalam masyarakat, harus diciptakan struktur yang menghargai semua peran
laki-laki dan perempuan adalah sama, pekerjaan domestik maupun pekerjaan
publik dapat dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan.
Model pendidikan
dengan menanamkan nilai-nilai adil gender ini harus diberikan kepada anak
secara terpadu, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun di lingkungan
masyarakat. Dalam hal pendidikan, Islam tidak pernah menganjurkan orangtua
untuk mengistimewakan atau mengutamakan anak laki-laki atau pun anak
perempuannya. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa anak
laki-laki harus diprioritaskan dalam mendapatkan pendidikan formal,
dengan alasan agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Fakta membuktikan
apabila dalam sebuah keluarga anak perempuan dan laki-laki diberikan kesempatan
yang sama, tidak jarang kemampuan anak perempuan dapat mengungguli saudara
lelakinya.
Menumbuhkan sikap
kritis kepada anak. Biasakan kepada anak sejak dini untuk diajak mempertanyakan
hal-hal yang dilihat, dialami, dirasakannya, dan memberikan jawaban dengan
logika berpikir yang disesuaikan dengan usia dan kondisi anak. Pendidikan
kritis untuk anak dapat juga diartikan bahwa anak dapat menanyakan apa saja
yang ingin diketahuinya tanpa merasa takut dan ragu, dan orangtua atau pengasuh
harus mampu menjawab seluruh pertanyaan anak secara tepat dan benar.
Jika kemudian
pengetahuan yang dia ketahui berbeda dengan pengetahuan yang baru
didapatkannya, ia berhak mendapatkan klarifikasi serta dapat mengoreksi menurut
pengetahuannya, dan sebaiknya orangtua tidak menyalahkan sikap kritis anak
dalam segala sesuatu. Banyak pengetahuan dan informasi yang seharusnya dapat
digali dari perspektif anak, tetapi jarang dimunculkan karena sering kali
orangtua atau pengasuh malas menjawab pertanyaan-pertanyaan anak usia di bawah
tiga tahun atau balita.
Padahal, pada
usia tersebut anak sedang tumbuh dalam tahap mengeksplorasi keingintahuannya
terhadap segala hal yang ada di sekitar mereka. Pertanyaan-pertanyaan mereka
sering kali muncul di luar dugaan kita, bahkan kita kadang kesulitan menjawab
dengan logika mereka.
Ketika menghadapi
kondisi demikian, tidak jarang orangtua justru mematahkannya dengan
jawaban-jawaban yang tidak mencerdaskan anak, bahkan mematikan semangat
keingintahuan mereka. Misalnya, dengan ungkapan “cerewet!” atau jawaban-jawaban
yang tidak bisa dimengerti anak.
Tidak
diskriminatif dan menghargai perbedaan. Orangtua, guru, maupun masyarakat
hendaknya tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan,
baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat. Baik dalam hal pendidikan,
pemilihan minat dan bakat, maupun dalam pemberian fasilitas kepada anak.
Pembedaan
perlakuan orangtua terhadap anak laki-laki dan perempuan pada masa
kanak-kanak dapat berdampak langsung pada pembentukan karakter anak. Hal
tersebut sering kali tidak disadari oleh orangtua. Apabila orangtua menerapkan
pola hidup yang tidak pilih kasih terhadap anak-anaknya, dengan sendirinya akan
tumbuh sikap egaliter di antara mereka, satu sama lain saling menghargai dan
menghormati.
Anak-anak sejak
dini diperkenalkan pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Jenis kelamin
bisa berbeda, ada laki-laki dan perempuan; suku dan bahasa berbeda-beda bergantung
daerah dan negaranya, masing-masing memiliki keunikan; agama juga berbeda-beda
bergantung keyakinan masing-masing orang. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak
perlu dipertentangkan. Bahkan sebaliknya, harus ditumbuhkan sikap saling
menghargai satu sama lain.
Demokratis. Sikap
demokratis sangat penting dalam pengasuhan anak agar anak merasa dihargai dan
memiliki konsep diri yang matang. Berikan kesempatan kepada anak untuk
mengemukakan pendapatnya, dan orang tua mau pun guru mendengarkan apa yang diungkapkan
anak, kemudian memusyawarahkannya secara bersama-sama.
Tanamkan kepada
anak bahwa berbeda pendapat tidak berarti salah, tapi harus saling menghargai
perbedaan maupun pendapat orang lain. Tanamkan kepada anak bahwa berbeda
pendapat tidak berarti salah, tapi harus saling menghargai perbedaan
maupun pendapat orang lain. Pendidikan demokratis dapat diberikan kepada anak
usia dini dengan cara memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat
pilihan-pilihan yang disukainya dari hal-hal yang paling sederhana.
Misalnya, memilih
warna mainan, warna pakaian, makanan yang disukainya, dan sebagainya. Kita juga
harus membiasakan menanyakan kepada balita kita, mengapa memilih ini dan
mengapa memilih itu? Agar mereka terlatih memberikan argumen terhadap
pilihan-pilihan mereka.
Demikian sedikit
gambaran dari buku ini, yang akan saya jabarkan lebih terperinci dalam setiap
babnya. Semoga segala upaya yang penulis berikan dapat memberikan manfaat besar
bagi pembaca dan umat pada umumnya.