Cara Menyambut Kelahiran Bayi Dalam Islam
Sebagai pasangan suami isteri yang beragama islam maka tentunya perlu mengetahui persiapan menyambut kelahiran bayi sesuai tuntunan agama kita. Salah satu yang penting anda ketahui adalah pola pendidikan ramah anak yang telah kami uraikan sebelumnya. Sekarang mari kita mengulas lebih jauh tentang Cara menyambut kelahiran Bayi dalam Islam.
Kegembiraan menyambut kelahiran seorang bayi, khususnya pada kelahiran anak pertama, biasanya memiliki kesan yang sangat mendalam. Berbagai perlengkapan bayi disediakan: pakaian, perlengkapan mandi, tempat tidur, peralatan makan, mainan, dan sebagainya.
Bahkan, tidak
jarang pasangan muda pada saat senggang membayangkan indahnya menimang buah
hati mereka dengan berimajinasi tentang masa depan anak mereka. Kehadiran anak
adalah anugerah Allah Swt. yang patut disyukuri.
Menyambut Kelahiran Bayi Dalam
Islam
Dalam buku-buku
sejarah Nabi Muhammad Saw. diriwayatkan bahwa ketika Nabi Saw. dilahirkan,
Tsuwaibah telah memberikan kabar gembira tentang kelahiran Muhammad kepada
pamannya, Abu Lahab. Tsuwaibah berkata, “Malam ini telah lahir seorang anak
laki-laki dari Abdullah.” Kemudian Abu Lahab memerdekakannya, karena merasa
gembira dengan berita kelahiran tersebut.
Dalam hal ini
Allah tidak menghilangkan pahala baginya sehingga mendapat keringanan siksaan
baginya. (HR Al-Bukhari) Dalam riwayat lain diceritakan oleh Al-Suhaili bahwa
Al-Abbas berkata, “Setelah Abu Lahab meninggal, setahun kemudian aku
memimpikannya bahwa ia berada dalam kondisi yang buruk. Ia berkata, ‘Aku tidak
pernah menemukan kesenangan setelah kamu sekalian, kecuali siksa diringankan
bagiku pada setiap hari Senin.’”33 Kehadiran bayi, baik laki-laki maupun
perempuan, layak disambut dengan gembira. Kita dianjurkan untuk mengunjungi
jika di antara saudara atau teman dekat kita mendapat tambahan keluarga baru,
karena hal tersebut dapat menambah rasa cinta di antara sesama saudara dan
kerabat.
Dalam hal ini,
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Hendaklah kalian saling memberikan hadiah,
niscaya kalian akan saling mencintai.” Yang terpenting adalah doa yang kita
katakan, “Semoga engkau diberkahi dan kelak menjadi anak yang baik, berbakti
kepada Allah dan orang tua.” Kenyataan membuktikan bahwa tidak semua
laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan melakukan reproduksi hingga
mampu melahirkan anak.
Ada sebagian
suami yang subur, tapi ternyata istrinya sebaliknya. Ada pula istri yang mampu
bereproduksi (al-walûd), namun suaminya mandul. Dan ada juga suami istri yang
dinyatakan oleh dokter sebagai pasangan yang sehat dan subur, tetapi selama
bertahun-tahun menikah ternyata tidak juga dikaruniai anak.
Hal tersebut
membuktikan bahwa kehamilan seorang perempuan merupakan suatu anugerah dan
rahmat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya. Allah Swt. melukiskan
kehamilan sebagai suatu hal yang menggembirakan. Firman-Nya, Sudahkah sampai
kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?
(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salâman
(salam).” Ibrahim menjawab, “Salâmun (salam).” (Mereka itu) orang-orang yang
belum dikenalnya.
Maka diam-diam
dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi
gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak
mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.” Maka dia (Ibrahim)
merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut”, dan
mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang
alim (Ishaq), kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk
mukanya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.”
Mereka berkata, “Demikianlah Tuhanmu berfirman.” Sungguh, Dialah yang
Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Dzâriyât [51]: 2430).
Kisah Nabi
Ibrahim a.s. ini serupa dengan apa yang pernah dialami Nabi Zakariya a.s., yang
sangat rindu terhadap kehamilan istrinya, sampai akhirnya kabar gembira itu
datang. Allah Swt. berfirman, Wahai Zakariya! Kami memberi kabar gembira
kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang namanya Yahya (QS Maryam
[19]: 7).
Ketika kabar
gembira itu sampai kepadanya, Nabi Zakariya a.s. pun sempat tercengang setengah
tidak percaya, mengingat selain dia sendiri sudah lanjut usia, istrinya pun
dipastikan sudah tidak subur lagi atau menopause. Akan tetapi, Allah Swt.
Mahakuasa, istri Nabi Zakariya—atas izin Allah—hamil dan kemudian lahirlah
Yahya a.s., yang kemudian ditunjuk oleh Allah sebagai Rasul-Nya juga.
Kisah Nabi Ibrahim
a.s. dan Nabi Zakariya a.s. ini menjadi pelajaran yang sangat berharga,
terutama bagi pasangan suami istri yang telah lama belum dikarunia anak, agar
tidak putus asa dan tetap optimis dengan penuh harap memohon kepada Allah agar
dikaruniai anak yang saleh dan salehah. Menurut Prof. Dr. Abdel Rahim Omran,
terdapat tiga nilai dan unsur terpenting atas kelahiran seorang anak, yaitu:
nilai religius, nilai ekonomi, dan sumber kebahagiaan.
Ketiga unsur
tersebut menyatu dalam diri seorang anak yang dianugerahkan Tuhan kepada
orangtua mereka. Karena itu, dalam tradisi Islam, kelahiran seorang anak selalu
diikuti selamatan atau syukuran dengan berbagai acara berisi pujian-pujian
kepada Allah Swt. dan Nabi-Nya, sebagai ungkapan rasa syukur menyambut
kelahiran anak. “Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian
akan saling mencintai.”
Mensyukuri
kelahiran seorang anak tentu tidak hanya diucapkan dengan kata-kata dan acara
syukuran, tetapi yang terpenting adalah bagaimana upaya orangtua membimbing dan
mengasuh anak-anaknya agar kelak mereka menjadi anak yang saleh dan salehah.
Masyarakat Indonesia yang umumnya religius memercayai bahwa pernikahan
merupakan sesuatu yang sakral, tidak sekadar mengikuti Sunnah Rasul, tetapi juga
menjalankan syariat Islam.
Begitu pula bagi
penganut agama-agama lain di Indonesia, mereka melakukannya karena memenuhi
panggilan agama, sehingga dampak sosial anak yang lahir dari hasil pernikahan
yang sah berbeda dengan anak yang lahir di luar nikah. Meskipun, dalam tradisi
masyarakat di negara-negara lain yang menganut paham bebas tidak mempersoalkan
status pernikahan tersebut.